PERANAN PEREMPUAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DASAR (PRIMARY HEALTH CARE)

Jumat, 03 Juni 2011


A. PENDAHULUAN

Dalam tiga dasa warsa terakhir ini pengakuan dunia terhadap pentingnya peran perempuan dalam pembangunan semakin meningkat, karena perempuan merupakan kelompok yang mewakili separuh dari penduduk dunia. Dari sisi pembangunan, perempuan merupakan lebih separuh dari pelaku pembangunan dan lebih separuh dari pemanfaat hasil pembangunan. Sebelum Dekade Wanita PBB dikumandangkan pada tahun 1975-1985, posisi dan peran perempuan telah diperhatikan oleh pemerintah negara dunia ketiga dan oleh organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF. Peranan perempuan pada masa itu terbatas pada upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan tidak dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perempuan menjadi sasaran program pembangunan di bidang kesehatan dan program “belas kasihan” yang menganggap perempuan perlu dikasihani.( Slamet Widodo, 2008).

Berdasarkan data statistik penduduk, jumlah perempuan di Indonesia sebanyak 50,3% dari total penduduk. Hal ini berarti di Indonesia jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Melihat jumlah perempuan yang demikian besar maka potensi perempuan perlu lebih diberdayakan sebagai subyek maupun sebagai obyek pembangunan bangsa.

(http://batikyogya.com/2008/08/21/peranan-perempuan-dalam-pembangunan-bangsa/). Peranan strategis perempuan dalam menyukseskan pembangunan bangsa dapat dilakukan dalam banyak hal melalui : 1). Peranan perempuan dalam keluarga, dimana perempuan merupakan benteng utama dalam keluarga. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dimulai dari peran perempuan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya sebagai generasi penerus bangsa. 2). Peranan perempuan dalam Pendidikan : Jumlah perempuan yang demikian besar merupakan aset dan problematika di bidang ketenaga kerjaan. Pengelolaan potensi perempuan melalui bidang pendidikan dan pelatihan maka tenaga kerja perempuan akan semakin menempati posisi yang lebih terhormat untuk mampu mengangkat derajat bangsa. 3) Peranan perempuan dalam bidang ekonomi : Pertumbuhan ekonomi akan memacu pertumbuhan industri dan peningkatan pemenuhan kebutuhan dan kualitas hidup. Di sektor ini perempuan dapat membantu peningkatan ekonomi keluarga melalaui berbagai jalur baik kewirausahaan maupun sebagai tenaga kerja yang terdidik. 4) Peranan perempuan dalam pelestarian lingkungan : Kerusakan lingkungan yang semakin parah karena proses industrialisasi maupun pembalakan liar perlu proses reboisasi dan perawatan lingkunga secara intensif. Dalam hal ini perempuan memiliki potensi yang besar untuk berperan serta didalamnya. (Lembaga Informasi Negara, 2001). 5) Peranan perempuan dalam bidang kesehatan : sudah tidak diragukan lagi kiprahnya, berkat peran perempuan diberbagai profesi kesehatan, perempuan mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Masih banyak peran-peran yang lain, yang menuntut keterlibatan perempuan didalamnya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang (developing country) dan sedang giatnya melaksanakan pembangunan di segala aspek kehidupan. Sebagai amanat konstitusi, pembangunan dilaksanakan guna mewujudkan masyarakat sejahtera dalam suasana yang damai, sekaligus berusaha mengejar ketertinggalannya untuk menjadi negara yang maju dan berperadaban. Keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia sebenarnya sudah sejak lama dimulai, secara eksplisit dengan gencarnya dilaksanakan ketika lembaga Kementerian Peranan Wanita didirikan secara resmi akhir tahun 70-an. Realitasnya tidak dapat dipungkiri bahwa peran kaum perempuan dalam pembangunan sedemikian besarnya, ikut serta menentukan arah dan keberhasiIan pembangunan nasional Indonesia. Konsep pembangunan kemampuan peranan perempuan yang dipergunakan, berkembang menjadi pemberdayaan perempuan yang berarti meningkatkan kualitas dan peran perempuan pada semua aspek kehidupan baik secara langsung atau tidak langsung melalui penciptaan situasi-situasi yang kondusif sebagai motivator dan akslerasi proses pembangunan. Karls (1995) dalam Dwi Astuti Imam Sudjarwo (2007), memandang bahwa pemberdayaan kaum perempuan sebagai suatu proses kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang lebih besar, kekuasaan dan pengawasan dalam pembuatan keputusan dan tindakan transformasi agar menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan kaum laki-laki. Diakui selama ini ada anggapan bahwa kualitas perempuan dalam pembangunan masih sangat rendah, yang menyebabkan peran kaum perempuan tertinggal dalam segala hal. Salah satu indikator integrasi perempuan dalam pembangunan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan disemua bidang lapangan kerja sebagai politikus, PNS, karyawan, buruh perusahaan termasuk petani, hingga tahun 1998 saja mencapai 40,2 persen (Dwi Astuti Imam Sudjarwo, 2007).

Kondisi ini dapat dipahami begitu besar andil perempuan dalam pembangunan nasional yang diprediksi akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun Women In Development Approach (WID) yang diperkenalkan oleh United States Agency for International Development (USAID) bahwa perempuan merupakan sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk memberikan sumbangan ekonomi dalam pembangunan. Ini berarti bahwa perempuan dan pembangunan telah menjadi sorotan dunia internasional termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam kajian yang lebih komprehensif. Hubeis (1985) mengatakan, analisis alternatif peran perempuan dalam mendorong pembangunan dapat dilihat dari tiga aspek yakni (1) peran tradisi atau peran domestik yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Perempuan yang berhasil mengelola rumah tangga dengan baik akan menjadi inspirasi dan motivator bagi pelaku pembangunan, (2) peran transisi yang berkaitan dengan garapan lahan pertanian atau bekerja di usaha keluarga dan (3) peran kontemporer. Perempuan memiliki peran di luar rumah tangga atau disebut wanita karier. Peran-peran ini menunjukkan bahwa perempuan baik langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembangunan bangsa.

Pemerintah telah menempatkan kaum perempuan sebagai partner yang manis bagi pembangunan. Isu gerakan dan pemberdayaan perempuan yang berkembang berkisar dalam suatu pemikiran bahwa perempuan sebagai sumber daya pembangunan, dengan kata lain politik gender telah memakai pendekatan Women In Development dimana perempuan terintegrasi sepenuhnya dalam derap pembangunan nasional. Konsep ini memberikan porsi kepada kaum perempuan untuk lebih eksis meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan menuju bangsa yang sejahtera dan penuh kedamaian.

Pendekatan Women In Development, partisipasi perempuan dalam pembangunan mensyaratkan adanya kemampuan teknis dan profesional yang dibutuhkan. Ini berarti bahwa potensi dan kapabilitas teknis kaum perempuan harus ditingkatkan melalui 1) upaya mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan sumber-sumber yang menyebabkan mengapa perempuan dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder dan dalam hubungan subordinasi terhadap laki-laki. Indikator integrasi perempuan dalam pembangunan diukur dari TPAK perempuan, akses pendidikan, hak-hak politik, kewarganegaraan dan sebagainya, 2) menempatkan perempuan sebagai pelaku penting dalam masyarakat sehingga posisi perempuan akan menjadi lebih haik, asumsinya perempuan telah dan selalu menjadi bagian dari pembangunan nasional, dan 3) konstruksi sosial yang membentuk persepsi dan harapan serta mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan rendahnya kedudukan dan status perempuan harus dihilangkan. Peran perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat besar, perempuan merupakan komponen terbesar dari penduduk dan merupakan aset bangsa yang potensial dan kontributor yang signifikan dalam pembangunan bangsa baik sebagai agen perubahan maupun subyek pembangunan. Kondisi ini akan dapat diwujudkan apabila hak dan kebutuhannya dipenuhi serta kualitasnya ditingkatkan. Apa lagi dengan dikeluarkannya Inpres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang secara nyata telah berhasil meningkatkan kesejahteraan perempuan (Detty Rosita,2010). Kebijakan pemerintah dibidang pengarus utamaan gender ditetapkan dan dilakukan pemerintah tidak dapat dipisahkan dari upaya secara keseluruhan yaitu mewujudkan visi kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari aspek kebijakan dan peraturan perundang-undangan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dibidang pemberdayaan perempuan dan gender. Kebijakan tersebut merupakan dukungan perangkat, sehingga percepatan pembangunan perempuan dapat terlaksana dengan baik. Selain itu komitmen internasional dibidang pembangunan perempuan juga turut mempengaruhi komitmen pemerintah dan masyarakat untuk lebih bersungguh-sunggguh memperhatikan kemajuan peran dan tanggung jawab perempuan dalam pembangunan. Strategi pengarus utamaan gender dan proses pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua SKPD, baik dilingkup pusat maupun pemerintah daerah. Pada rapat kerja (raker) presiden RI di istana Tampak Siring, Bali pada tanggal 19-21 April 2010 yang juga dihadiri oleh seluruh Gubernur bersama jajarannya, pengarus utamaan gender juga menjadi bahasan pada kelompok kerja yang membidangi MDG’s (Millenium Development Goals). MDG’s merupakan sebuah paket yang berisi tujuan yang mempunyai batas waktu dan target terukur untuk menanggulangi kemiskinan, kelaparan, pendidikan, diskriminasi perempuan, kesehatan ibu dan anak, pengendalian penyakit dan perbaikan kualitas lingkungan. Dalam hal ini, meskipun berbagai upaya meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta pencapaian target MDG’s yang dilakukan selama ini telah menghasilkan berbagai kemajuan terutama dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan. (buanasumsel | Apr 29, 2010)

B. PEMBAHASAN

1. Peranan Perempuan

Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama (Poerwadarminta, 1985). Peranan menurut Levinson sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekamto (1982), Peranan adalah suatu konsep prihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. Menurut Biddle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan bisa memberi anjuran, memberi penilaian, memberi sangsi dan lain-lain (Bang Beny, 2011). Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia Purwadarminta (1985) disebutkan bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Kemudian asal kata perempuan adalah empu yang berarti ibu tersirat didalamnya orang yang mulia, dihormati, membimbing, mengasuh. Sedangkan wanita adalah perempuan yang berusia dewasa. Bila dipadukan dari kedua pengertian diatas, perempuan adalah tingkah laku seorang ibu yang diharapkan oleh orang lain/masyarakat sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem.

Dalam konteks perbedaan laki dan perempuan, Montagu (1971) mengemukakan bahwa sifat-sifat psikologis dan sosial wanita membuktikan wanita lebih unggul daripada laki-laki. Selain itu terdapat fakta-fakta yang membuktikan bahwa wanita adalah organisme yang secara biologis lebih unggul, unggul dalam arti menikmati nilai kelangsungan hidup (survival) yang lebih tinggi daripada pria berkat sifat-sifat biologisnya. Fakta-fakta itu seharusnya dapat melenyapkan mitos inferioritas fisik wanita terhadap pria. Kekuatan otot tidak boleh dikacaukan dengan kekuatan komposisi dan menurut komposisinya wanita adalah kelamin yang lebih kuat (Montagu, 1971). Marshall, peneliti status dan peranan wanita Skotlandia sejak abad XI sampai abad XX, membagi wanita di negeri itu menjadi dua kategori. Pertama, the passive Women yang berlangsung cukup lama dan berakhir pada tahun 1830. Kedua, the active Woman yang dimulai sejak tahun 1830 (Marshall, 1983). Pembagian Marshall ini kiranya dapat diterapkan di negara-negara lain, baik negara maju maupun Negara berkembang, dengan catatan bahwa awal periode the active Women itu tidak sama. Seperti yang dikemukakan oleh Marshall (1983), pergantian dari periode the passive Women ke periode the active Women tidak berlangsung secara tiba-tiba, maka demikian pula dengan keadaan di Indonesia.

Untuk sampai pada kemajuan wanita Indonesia abad XX sekarang ini diperlukan suatu masa transisi. Pada masa transisi itu, berarti sejak zaman penjajahan Belanda, banyak wanita yang mendarmabaktikan dirinya dengan melakukan kegiatan sosial lewat jalur organisasi, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah. Adanya keragaman daerah, antara lain mengenai agama, adat, tingkat pendidikan, dan tingkat kehidupannya, maka usaha untuk memajukan kaum wanita disesuaikan dengan keadaan setempat. Para ibu pejuang itu menyadari perlunya memperhatikan sifat kontinuitas dalam kehidupan dan budaya penduduk dan diperjuangkannya dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pergerakan wanita, merupakan pendorong paling kuat bagi terjadinya perubahan mengenai kehidupan wanita yang mencakup banyak bidang. Dalam Sejarah Pergerakan Nasional disebutkan bahwa dalam usaha mencapai kemerdekaan negara dan bangsanya kaum wanita melakukan kerja sama dengan kaum pria. Prinsip kerja sama itu tetap dipegang dan dapat dibuktikan pada waktu perang kemerdekaan dan pada masa Pembangunan Nasional. Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah yang penting bagi peningkatan peranan wanita. pertama, karena pada tahun itu peranan dan status sosial wanita secara eskplisit mendapatkan pengakuan konstitusional dalam GBHN. Kedua, pada tahun itu pertama kalinya pemerintah meletakkan suatu perlengkapan nasional yang bertanggung jawab meningkatkan peranan wanita dalam Pembangunan dengan titik pusat Menteri Muda Urusan Peranan Wanita. Pada tahun 1983 status Menteri Muda itu ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW). Tugas pokok MENUPW adalah menangani peningkatan peranan wanita dalam bidang pembangunan (Tjokrowinoto, 1988).

Kegiatan wanita di dunia internasional dapat disimak pada partisipasinya dalam berbagai macam konferensi atau seminar di negara-negara Asia dan konferensi Wanita Sedunia, sebagai puncak dari Tahun Wanita internasional.konferensi ini dilangsungkan di Mexico City pada tahun 1975, berikutnya di Kopenhagen, Denmark (1980), dan di Nairobi, Kenya (1985). Pemerintah Indonesia, sebagai anggota PBB, mengirim utusan pada konferensi-konferensi tersebut, akan tetapi disampingnya juga datang utusan-utusan wanita, terutama dari kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang menghadiri pertemuan Non Govermental Organization (NGO). Ternyata utusan wanita yang menghadiri pertemuan NGO banyak membantu utusan-utusan resmi yang dikirim oleh pemerintah.

Peningkatan peranan wanita dalam pembangunan telah secara khusus menjadi perhatian sejak GBHN 1978, dan dalam GBHN 1993 peran, partisipasi, dan status wanita dalam pembangunan telah mendapat tempat yang semakin mantap. Upaya peningkatan peranan wanita dalam Repelita VI diarahkan untuk mencapai kondisi kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan wanita dalam pembangunan dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan ber­negara, serta ikut melestarikan nilai-nilai Pancasila.(www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6468/)

Kunjungan satu setengah hari di Moskow (26/8) misalnya, Menteri Pemberdayaan wanita Meutia Hatta antara lain telah bertemu dengan lembaga swadaya masyarakatr (LSM ) yang bergerak di bidang hak asasi manusia - Moscow Bureau for Human Rights (MBHR). Diskusi hangat secara informal tesebut menggarisbawahi bahwa untuk hal-hal tertentu maka pengembangan peranan wanita Indonesia jauh lebih maju dibandingkan Rusia. Indonesia yang multietnis dan sekaligus religius terus memberikan peranan yang lebih besar kepada wanita untuk mengembangkan dirinya. Tidak banyak lagi halangan baik secara kultural, religi maupun kebijakan yang menekan wanita untuk berkiprah sebagaimana pria. “Antara pria dan wanita memiliki kelebihan masing-masing sehingga harus saling bekerja sama, bukan mendominasi,” Saat ini yang sedang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah menciptakan berbagai peluang agar kesempatan yang sudah terbuka bagi wanita tersebut dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Caranya antara lain adalah dengan mengalokasikan anggaran khusus bagi pemberdayaan wanita, memberikan pendidikan yang cukup serta memperhatikan kesehatannya. Mulai tahun 2010 berbagai Departemen sudah mulai action dengan kebijakan persamaan gender. Pimpinan MBHR, Alexander Brod dan Natalia Ricova menyatakan kekagumannya atas perkembangan positif yang dicapai oleh Indonesia dalam masalah tersebut. Dikatakannya bahwa Rusia masih harus belajar dari Indonesia agar wanitanya lebih berkiprah di kemudian hari. Dalam konstitusi kita tercantum masalah gender equality, namun dalam implementasinya masih butuh dukungan semua pihak agar terimplementasi dengan baik. Mengetahui bahwa dalam pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setiap partai harus mengusulkan 30 persen calonnya dari wanita dan hingga saat ini sudah terdapat lebih 10 persen wanita menjadi anggota legislatif ditambah beberapa menteri dan pernah jabatan presiden juga dari kaum hawa, Alexander Brod tidak dapat menutupi kekagumannya. “Kami harus belajar dari Indonesia (M Aji Surya, 2009).

Berkaitan dengan gender, dikenal ada tiga jenis peran gender sebagai berikut : 1) Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor public, 2) Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestic, 3) Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita, 1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003).

Dari uraian diatas, dapat dipetik beberapa hal yang terkait dengan peranan wanita di Indonesia sebagai berikut : 1) Walaupun ada ketimpangan gender, sejak zaman dahulu wanita sudah banyak melakukan perannya di berbagai bidang, 2) Perempuan memiliki andil yang cukup besar dalam bidang pembangunan khususnya pembangunan bidang kesehatan, 3) Pemerintah melalui berbagai keputusan dan kebijakan, telah menempatkan perempuan sebagai orang yang patut diperhatikan dan dipertimbangkan kedudukannya baik didalam keluarga (sektor domestik) maupun di sektor publik

2. Pelayanan Kesehatan Dasar

World Health Essembly tahun 1977 telah menghasilkan kesepakatan global untuk mencapai “Kesehatan Bagi Semua atau Health For All” Pada Tahun 2000 ( KBS 2000 / HFA by The Year 2000 ), yaitu Tercapainya suatu derajat kesehatan yang optimal yang memungkinkan setiap orang hidup produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Selanjutnya pada tahun 1978, Konferensi di Alma Ata, menetapkan Primary Health Care (PHC) sebagai Pendekatan atau Strategi Global untuk mencapai Kesehatan Bagi Semua (KBS) atau Health For All by The Year 2000 ( HFA 2000 ). Dalam konferensi tersebut Indonesia juga ikut menandatangani dan telah mengambil kesepakatan global pula dengan menyatakan bahwa untuk mencapai Kesehatan Bagi Semua Tahun 2000 (FA’2000) kuncinya adalah PHC ( Primary Health Care ) dan Bentuk Opersional dari PHC tersebut di Indonesia adalah PKMD ( Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa ). (http://www.scribd.com/doc/19834440/Primary-Health-Care). Pelaku PHC adalah Pemerintah dan/atau Swasta. Di jajaran Pemerintah, PHC dilaksanakan oleh Puskesmas dan jejaringnya. Sedangkan di kalangan swasta, PHC dilaksanakan oleh dokter praktik, bidan praktik, dan bahkan oleh pengobat tradisional (Battra) (Depkes RI, 2009).

Primary Health Care ( PHC ) adalah : Pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metode dan teknologi praktis, ilmiah dan sosial yang dapat diterima secara umum baik oleh individu maupun keluarga dalam masyarakat melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri ( self reliance ) dan menentukan nasib sendiri ( self determination ). Tiga Unsur Utama yang terkandung dalam PHC adalah : 1) Mencakup Upaya – upaya Dasar Kesehatan, 2) Melibatkan Peran Serta Masyarakat, 3) Melibatkan Kerja Sama Lintas Sektoral dengan Lima ( 5 ) Prinsip Dasarnya adalah : 1) Pemerataan Upaya Kesehatan, 2) Penekanan Pada Upaya Preventif, 3) Menggunakan Teknologi Tepat Guna, 4) Melibatkan Peran Serta Masyarakat serta 5) Melibatkan Kerjasama Lintas Sektoral. Dalam pelaksanaan PHC harus memiliki 8 elemen essensial yaitu : 1) Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan panyakit serta pengendaliannya, 2) Peningkatan penyediaan makanan dan perbaikan gizi, 3) Penyediaan air bersih dan sanitasi dasar, 4) Kesehatan ibu dan anak termasuk KB, 5) Imunisasi terhadap penyakit–penyakit Infeksi Utama, 6) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Endemik Setempat, 7) Pengobatan Penyakit Umum dan Ruda Paksa, dan 8) Penyediaan obat – obat esensial. Ciri-ciri Primary Health Care adalah 1) Pelayanan yang utama dan intim dengan masyarakat, 2) Pelayanan yang menyeluruh 3) Pelayanan yang terorganisasi, 4) Pelayanan yang mementingkan kesehatan individu maupun masyarakat 5) Pelayanan yang berkesinambungan, 6) Pelayanan yang progresif, 7) Pelayanan yang berorientasi kepada keluarga, dan 8) Pelayanan yang tidak berpandangan kepada salah satu aspek saja (http://www.scribd.com/doc/19834440/Primary-Health-Care). Di Indonesia, bentuk operasional dari Primary Health Care (PHC) adalah Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). PKMD adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara gotong royong dan swadaya dalam rangka menolong diri sendiri, untuk memecahkan masalah, memenuhi kebutuhan bidang kesehatan dan bidang lain yang berkaitan dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang sehat dan sejahtera (Widyatuti,2009).

Dapat disimpulkan bahwa Primary Health Care (PHC) yang di Indonesia diterjemahkan kedalam bentuk Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) merupakan suatu tatanan yang mengutamakan kemandirian masyarakat untuk hidup sehat dalam rangka mencapai kehidupan yang sejahtera dan mandiri. Kemudian upaya yang dilakukan berpegang pada azas gotong royong dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat, disamping peran peran pemerintah dan sektor swasta. Dalam pelaksanaannya, banyak melibatkan kerjasama baik lintas program maupun lintas sektor. Jenis kegiatan yang bisa dilakukan adalah posyandu, keluarga berencana, pos kesehatan desa, pos persalinan desa, pengobatan tradisional, dll.

3. Peranan Perempuan Dalam Pelayanan Kesehatan Dasar

Di bidang kesehatan, peran wanita semakin nyata dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan posyandu yang umumnya dilakukan melalui organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Peran wanita sebagai bidan juga semakin meningkat sehingga mendukung upaya percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan angka kematian bayi dan anak di daerah perdesaan. Sampai dengan tahun 1997/98 telah ditempatkan sekitar 62 ribu bidan di hampir semua desa yang diharapkan dapat mempercepat penurunan angka kematian ibu melahirkan. Angka kematian ibu melahirkan pada tahun 1994 adalah sekitar 390 per 100.000 kelahiran hidup, menurun dari sekitar 425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1993. Namun angka tersebut masih jauh dari sasaran akhir Repelita VI yaitu 225 per 100.000 kelahiran hidup.

Kinerja sistem kesehatan di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, seperti ditunjukkan dengan peningkatan status kesehatan, yaitu penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007). Angka Kematian Ibu (AKI) juga mengalami penurunan dari 318 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi, Umur Harapan Hidup (UHH) meningkat dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007. Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 29,5% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 18,4% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007).

Peran wanita dalam masyarakat terus ditingkatkan melalui berbagai aktivitas wanita untuk mendukung pembangunan. Kegiatan tersebut dilaksanakan antara lain melalui wadah PKK, KB, dan posyandu. Melalui gerakan PKK, wanita berperan aktif dalam membina kesejahteraan keluarganya, sedangkan dalam kegiatan posyandu, wanita terlibat secara aktif dalam pemberian pelayanan kesehatan, imunisasi, dan perbaikan gizi keluarga. Di bidang Keluarga Berencana (KB), peran wanita adalah sebagai peserta dan motivator KB. Menurut Setiawati, GA (2007), menyatakan penelitian di Samoa membuktikan bahwa keberhasilan pelayanan kesehatan dasar sangat ditentukan oleh peran aktif kaum perempuan sebagai sukarelawan lokal di wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena masih kuatnya ikatan internal diantara masyarakat Samoa sehingga sikap peran aktif ini muncul atas dasar kesadaran akan adanya manfaat bersama yang akan diperoleh dari pelayanan kesehatan dasar tersebut. Penelitian di India membuktikan bahwa kegiatan pembangunan kesehatan yang berbasis pada pemberdayaan kader masyarakat mampu menurunkan kasus penyakit kronis seperti TBC, malaria, dan penurunan kematian bayi, dimana kader masyarakat tersebut lebih banyak perempuan. Kemandirian posyandu tidak terlepas dari kemampuan para kader didalamnya. Peningkatan kualitas kader posyandu akan menentukan kualitas pelayanan yang diberikan dimana kader tersebut sebagian besar terdiri dari kaum perempuan. Hal ini dikarenakan kader memiliki peran yang sangat besar dalam mentransfer pengetahuan kesehatan kepada warga masyarakat. Interaksi sosial yang melekat di masyarakat memungkinkan terjadinya transfer informasi diantara internal para kader maupun antara kader dengan warga, terutama ibu balita. (Setiawati GA, 2007).

Peran ibu dalam pendidikan anak-anaknya, kasih sayang dan perhatian dari seorang Ibu (peran domestik) mempunyai pengaruh yang besar pada kepribadian anak. Perhatian dan kasih sayang tersebut akan menimbulkan perasaan di terima dalam diri anak-anak dan membangkitkan rasa percaya diri di masa-masa pertumbuhan mereka. Peran ibu dalam menyiapkan makanan bagi keluarga, peran ibu dalam pengasuhan anak, dll merupakan elemen penting dalam pelayanan kesehatan dasar untuk melahirkan generasi sehat dan cerdas. Peran perempuan sebagai ibu menempatkannya sebagai agen kesehatan di rumah dan lingkungan. Contohnya sebagai ibu, tentunya sering mengingatkan anak dan keluarga untuk membiasakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah dan lingkungan tempat tinggal. Peran individu yang terkesan sederhana ini punya manfaat besar. Bayangkan jika peran ini dimainkan oleh kaum ibu rumah tangga, yang berpartisipasi aktif dalam posyandu atau kader PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga). Berapa banyak anak dan keluarga yang bisa menjalani perilaku sehat dan memaksimalkan hidupnya? Peran kaum ibu yang peduli mengingatkan warga mengenai pemeriksaan kesehatan punya dampak besar (http://selebsexy.com/perempuan-butuh-stimulan-untuk-jadi-agen-kesehatan/)

Dilain pihak, perempuan yang bergelut di salah satu profesi kesehatan seperti Bidan memiliki peran yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan dasar. Untuk menanggulangi tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi, sekolah kebidanan secara khusus didirikan pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan dan BKKBN mendorong pertumbuhan jumlah bidan. Menurut Profil Kedudukan dan Peranan Wanita 1995, di kota maupun di desa, perempuan lebih memilih bidan dalam memeriksakan kesehatan dan kehamilan mereka dari pada tenaga kesehatan iainnya. Habsjah dan Aviatri (dalam Oey- Gardiner, 1996) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1952 bidan sudah dikerahkan untuk mengelola Balai Kesehtan Ibu dan Anak. Ketika pada tahun 1968 puskesmas pertama kali diperkenalkan di Indonesia, Depkes mengeluarkan peraturan bahwa tenaga puskesmas harus terdiri atas tenaga dokter, bidan, mantri, dan perawat. Tetapi berbagai studi membuktikan bahwa banyak puskesmas yang hanya memiliki bidan atau mantri sebagai satu-satunya tenaga kesehatan yang setiap saat dapat dikunjungi oleh masyarakat. Bidan di Indonesia adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dasar (Lim Sing Meij, 2004).

C. KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari Peranan Perempuan Dalam Pelayanan Kesehatan Dasar adalah :

1. Perempuan selain sebagai mahluk kodrati, dia juga sebagai mahluk social yang bisa berperan dimana saja, di semua bidang pembangunan termasuk pembangunan kesehatan

2. Perempuan memiliki posisi yang sangat penting disemua lini pembangunan dengan keunggulan dan kelebihan yang dimiliki.

3. Pemerintah telah menunjukkan perhatiannya kepada perempuan dengan kebijakannya yang responsive gender

4. Dalam bidang kesehatan, perempuan banyak memiliki peran baik dalam peran domestik maupun dalam peran publik yang mendukung kesehatan.

5. Banyak hal yang bisa diisi oleh perempuan dari hal yang paling sederhana dalam lingkungan keluarga maupun ke hal yang paling kompleks di masyarakat dalam bidang kesehatan.

6. Pelayanan kesehatan dasar salah satunya yang bisa diisi oleh perempuan baik sebagai subjek maupun okyek dalam pelayanan kesehatan dasar.

DAFTAR PUSTAKA

buanasumsel. 2010. Peran perempuan dalam pembangunan Bangsa Indonesia

Bang Deny. 2011. Peranan Perempuan. Dalam http://arisandi.com/?p=584) February 7th, 2011 (diunduh tanggal 11 Mei 2011.

Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta

Depkes RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta.

Dwi Astuti Imam Sudjarwo. 2007. Pencitraan Peran Perempuan Dalam Pembangunan. http://cetak.bangkapos.com/opini/read/26.html (5 Nopember 2007) (diunduh tanggal 9 Mei 2011)

Gita Setyawati, Mubasysyir Hasanbasri, Arie Sujito. Keterbukaan Sistem Puskesmas, Modal Sosial Dan Kemandirian Posyandu dalam http://www.kmpk.ugm.ac.id/images/naskah%20publikasi/GITA_ARIS_SETYAWATI_wps.pdf (diunduh tanggal 11 Mei 2011)

http://selebsexy.com/perempuan-butuh-stimulan-untuk-jadi-agen-kesehatan/ (diunduh tanggal 11 Mei 2011)

Lim Sing Meij. 2004. Bidan sebagai tenaga kesehatan: peran dan penghargaan yang diperoleh: studi kasus pada bidan Puskesmas Kecamatan Kusuma Buana, Jakarta Selatan, dalam

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=75871. (diunduh tanggal 11 Mei 2011)

Montagu, Ashley, 1971. The Natural Superiority of Women. New York.

Marshall, Rosalind K., 1983. Virgins and Viragos. A History of Women in Scotland

from 1080 to 1980. London: William Collins Sons & Co. Ltd.

Noor Fitrihana. 2008. Peranan Perempuan Dalam Pembangunan bangsa. Dalam http://batikyogya.com/2008/08/21/peranan-perempuan-dalam-pembangunan-bangsa/ (21 Agustus 2008) (diunduh tanggal 9 Mei 2011)

Poerwadarminta, W.J.S. 1985. Kamus Bahasa Indonesia, pp. 735, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Soejono Soekamto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, pp. 238. Rajawali Press, Jakarta.

Slamet Widodo. 2008. Perempuan dan Pembangunan. Dalam http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/perempuan-dan-pembangunan/ (1 Pebruari 2008) diunduh tanggal 08 Mei 2011.

Supardi. A Adiwidjaya. 2009. Peranan Wanita di Indonesia Dikagumi. Dalam http://www.rakyatmerdeka.co.id/internasional/2009/08/26/6819/

Peranan-Wanita-di-Indonesia-Dikagumi

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6468/. Peranan Wanita, Anak dan Remaja, dan Pemuda.

Widyatuti. 2009. Primary Health Care, dalam (http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/ee745b5ce1b5eeac4285708144f8da1bee120bb1.pdf) (diunduh tanggal 10 Mei 2011).

SISTEM KESEHATAN NASIONAL DAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR


Sistim Kesehatan Nasional (SKN) merupakan bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah bersama seluruh elemen bangsa dalam rangka meningkatkan tercapainya pembangunan kesehatan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Sistem Kesehatan Nasional menjadi sangat penting kedudukannya mengingat penyelenggaraan pembangunan kesehatan pada saat ini semakin kompleks sejalan dengan kompleksitas perkembangan demokrasi, desentralisasi, dan globalisasi serta tantangan lainnya yang juga semakin berat, cepat berubah dan, sering tidak menentu.(Depkes RI, 2009). Karena kedudukannya sangat penting maka Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) yang meliputi: 1) Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata, 2) Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat, 3) Kebijakan pembangunan kesehatan, dan 4) Kepemimpinan. Disamping itu, Sistem Kesehatan Nasional juga disusun dengan memperhatikan inovasi/terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk penguatan sistem rujukan (Depkes RI, 2009).

Pendekatan pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) secara global telah diakui sebagai pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua dengan mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang responsif gender (Depkes RI, 2009). Bila dipahami, PHC (Deklarasi Alma Atta tahun 1978) itu adalah kontak pertama individu, keluarga, atau masyarakat dengan sistem pelayanan kesehatan, maka pengertian ini sesuai dengan salah satu substansi SKN 2009 yang menyatakan bahwa, Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar dimana terjadi kontak pertama perorangan atau masyarakat dengan pelayanan kesehatan sebagai proses awal pelayanan kesehatan langsung maupun pelayanan kesehatan penunjang, dengan mekanisme rujukan timbal-balik. Termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat darurat. Pelaku PHC adalah Pemerintah dan/atau Swasta. Di jajaran Pemerintah, PHC dilaksanakan oleh Puskesmas dan jejaringnya. Sedangkan di kalangan swasta, PHC dilaksanakan oleh dokter praktik, bidan praktik, dan bahkan oleh pengobat tradisional (Battra). Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Reformasi PHC yang mengadopsi pendekatan WHO dalam the WHO Annual Report 2008 dengan judul: “Primary Health Care, Now More Than Ever”, terdiri empat pilar yaitu : 1) Reformasi pembiayaan kesehatan, pembiayaan pemerintah lebih diarahkan pada upaya kesehatan masyarakat (public goods) dan pelayanan kesehatan bagi orang miskin, 2) Reformasi kebijakan kesehatan, kebijakan kesehatan harus berbasis fakta (evidence based public health policy), 3) Reformasi kepemimpinan kesehatan (kepemimpinan kesehatan harus bersifat inklusif, partisipatif, dan mampu menggerakkan lintas sektor melalui kompetensi advokasi) dan 4) Reformasi pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan dasar harus mengembangkan sistem yang kokoh dalam konteks puskesmas dengan jejaringnya serta dengan suprasistemnya (Dinkes Kab/kota, dan RS Kab/Kota) (http://www.who.int/whr/2008/whr08)

Kinerja sistem kesehatan di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, seperti ditunjukkan dengan peningkatan status kesehatan, yaitu penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007). Angka Kematian Ibu (AKI) juga mengalami penurunan dari 318 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI, 2007). Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi, Umur Harapan Hidup (UHH) meningkat dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007. Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 29,5% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 18,4% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Namun penurunan indikator kesehatan masyarakat tersebut masih belum seperti yang diharapkan. Keberhasilan pembangunan kesehatan ini yang dituangkan dalam Sistem Kesehatan Nasional tidak lepas dari keberpihakan pemerintah dalam mengimplikasikan Primary Health Care sebagai dasar pembangunan kesehatan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.

http://www.who.int/whr/2008/whr08_en.pdf. The world health report 2008 : primary health care now more than ever.

Depkes RI. 2008. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, Jakarta.